Jumat, 02 Mei 2014

DIBERONDONG MUSTANG P-51






DIBERONDONG MUSTANG P-51 DAN DI TEMBAKI MERIAM, 1949.

Tadinya kami merasa aman di desa Bligo Cabean karena jauh dari jalan raya, tetapi ternyata itu hanya harapan. 
Pada suatu pagi dari kejauhan terdengar suara pesawat pemburu Mustang. Orang menyebutnya cocor merah. Pesawat itu dinamakan Cocor Merah  karena moncongnya  dicat merah. Kami tahu suaranya karena beberapa kali pesawat itu melintas di atas kami. 
Mendengar suara itu kami saling memperingatkan dan keluar rumah. Karena suaranya makin mendekat, kami lalu masuk ke dalam lubang-lubang perlindungan yang dangkal di pinggir-pinggir rumah.
Suara pesawat itu makin mendekat, mendesing seperti suara peluit dan menderu keras, gemuruh lalu tiba-tiba …dor…dor…dor, dua pesawat itu memuntahkan peluru kaliber 20 mm berganti-ganti kearah rumah Pak Mangunrejo. Kemudian kami mendengar suara atap rumah yang runtuh.
Bapak saya yang telah siap-siap untuk pergi karena takut pasukan Belanda akan segera datang bila penembakan telah selesai, mendengar suara jeritan dari dalam rumah. Bapak lari ke dalam rumah dan menemukan Yatin terduduk sambil  menangis dan gemetaran. Bapak segera menarik Yatin keluar rumah sambil berlari masuk kedalam lubang perlindungan. Tanah, serpihan dahan dan daun berguguran di atas penutup lubang perlindungan kami yang hanya berupa daun salak yang tipis. Serangan mungkin berlangsung 15 menit.
 
 


Gambar 1: Cocor Merah menyerang rumah Pak Mangunrejo di Desa Bligo Cabean.




Setelah serangan selesai kami keluar dari lubang perlindungan dengan seluruh badan gemetaran dan lutut seperti tidak dapat menahan beratnya badan. Kepala dan pakaian kotor karena tanah bekas ledakan peluru yang terhamburkan ke perlindungan kami.
Rumah Pak Mangunredjo rusak atapnya, halaman depan rumah tempat saya sering menggambar di atas tanah berpasir yang rata dan halus, di bawah pohon sawo, menjadi seperti bekas dibajak karena kena peluru. Selongsong peluru yang besar-besar ditemukan di halaman rumah di mana-mana.
Kami semua beruntung tidak ada  yang terkena peluru.
Mata-mata Belanda telah salah menunjukkan rumah yang besar itu yang dikiranya markas TNI. Hibah dari Sekutu berupa kelebihan senjata bekas Perang Dunia II, yang merupakan pesawat terbang tercanggih di dunia pada jamannya, Mustang P-51, hanya digunakan untuk menembak sasaran yang tak berguna dari segi militer, rumah Pak Mangunrejo dan Yatin.






Gambar 2: Pasukan Siliwangi ber-Long March ke Jawa Barat, daerah asalnya.


Pada akhir Januari 1949, Kakek Wirjo, Bu Warti dan Bu Sup yang mengungsi bersama kami, merasa bahwa pengungsian tidak diketahui kapan akan berakhirnya, maka Kakek Wiryo ingin bergabung pulang ke Tegal bersama dengan rombongan Pasukan Siliwangi dan keluarganya yang melakukan Long March berjalan kaki kembali ke Jawa Barat. 
Penggabungan Kakek Wirjo dengan Divisi Siliwangi dilakukan pada waktu malam, karena  Pasukan Siliwangi hanya bergerak pada waktu malam  agar tidak ketahuan oleh Belanda. Rencana Kakek Wirjo, bila sudah dekat dengan Tegal, akan keutara memisahkan diri dari rombongan Siliwangi.
Pada malam yang hujan, Kakek Wirjo berpamitan dengan kami untuk bergabung dengan rombongan Pasukan Siliwangi. Kami semua ragu apakah Kakek Wirjo dan dua bibi kami dapat sampai ke Tegal. Ibu saya menangis mengantar Bapaknya dan dua adiknya   bergabung dengan Siliwangi.
Suatu siang Kasijem mengasuh Diyanto di pinggir desa dekat persawahan, ketika dia melihat pesawat capung Belanda mendekati desa Bligo. Masih terpesona dan merasa ada bahaya, Kasiyem mengambil Diyanto  ke gendongannya untuk cepat-cepat kembali ke rumah.  Kasijem masih sempat melihat pesawat capung itu mengeluarkan “bola api yang terang memancar ke atas”. Setengah berlari Kasijem kembali ke rumah dan memberi tahu orang-orang yang ada di rumah apa yang telah dilihatnya. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara ledakan, diikuti suara siulan, lalu suara dedaunan yang disambar benda bergerak dan…bum, bum, bum.
Peluru meriam meledak disekitar rumah Pak Mangunredjo. Kami segera keluar rumah dan tiarap berlindung dari pecahan-pecahan peluru meriam yang beterbangan di sekitar kami setiap kali ada peluru yang mendesing dan meledak di dekat kami. Kelihatannya Desa Bligo dianggap sebagai tempat persembunyian TNI.
Kemudian tembakan meriampun berakhir.
Bapak saya dan Pak Salam segera mengabsen anggota keluarganya.
Tiba-tiba Bu Salam muncul sambil berlari di halaman rumah Pak Mangunredjo di mana kami tiarap. Bu Salam menjelaskan    bahwa Mbok Hardjo  yang bersamanya  baru pulang dari pasar terkena pecahan peluru meriam.
Pak Salam dan Bapak segera berlari ke Mbok Hardjo. Bapak melakukan ikatan Torniquet di kaki Mbok Hardjo untuk menghentikan darah yang keluar. Sesudah tembakan meriam berhenti mereka berdua dengan bantuan rakyat lalu pergi ke Rumah Sakit Katolik di Boro sekitar 20 km dari Bligo.



Gambar 3: Tentara Belanda menembakkan meriam dari Cebongan dan Medari.


 Serangan itu berlangsung mungkin sekitar 20 menit dan selama itu kami tiarap di atas tanah di manapun kami berada, terpisah dari masing-masing keluarga karena kami harus segera bertiarap, tidak usah menunggu berkumpul dekat dengan keluarga masing-masing. 
Karena markas-markas tentara Belanda ada di Pabrik Gula Cebongan dan Pabrik Gula Medari, kami menyangka bahwa tembakan-tembakan itu berasal dari sana 

           Merasa kurang aman di Bligo, kamipun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Mangunredjo atas kebaikannya telah menampung kami, lalu kami pindah ke rumah Pak Sumoloso di kampung Bligo Kolodanan. Di kampung itu kami memang merasa lebih aman karena agak jauh masuk lagi ke daerah tepi Sungai Progo. Dari perlindungan kami, kami dapat melihat orang-orang yang menjala ikan yang ikannya makan bangkai manusia yang hanyut di kali Progo.
Di Desa itu Ibu saya diserahi mengajar anak-anak desa dan anak para pengungsi. Ibu saya adalah tamatan sekolah guru Kweekschool, sehingga mengajar baginya bukan hal yang baru, walaupun sekolah daruratnya hanya satu ruangan terbuka di sebuah rumah. Gaji ibu saya adalah beras atau singkong. Dengan menjadi guru itu kami dapat menambah kalori yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Sering  kalau kami berangkat ke sekolah darurat itu, kami melewati Selokan Mataram, kami melihat bangkai-bangkai manusia mengapung di situ. Bangkai-bangkai itu dibiarkan dihanyutkan air. Penduduk tidak mempunyai waktu dan tenaga untuk menguburkannya, karena begitu sering mayat-mayat itu dihanyutkan. Jenazah-jenazah dengan tanda-tanda penyiksaan atau bekas luka peluru itu dibiarkan dihanjutkan air.  Kami tidak tahu apakah mereka itu pejuang atau penghianat.
 Selama mengungsi kami kekurangan makan dan makan seadanya dari ubi kayu, keong sawah, daun genjer muda (Limnocharis flava). Kami juga mengumpulkan bunga mlinjo (Gnetum gnemon) yang jatuh di tanah selain sedikit nasi.
Pada awal-awal 1949 Sultan Hamengku Buwono IX yang pernah sekolah di Akademi Militer Belanda di Breda, petinggi-petinggi TNI semacam Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, T. B. Simatupang dan Kol. Soeharto merencanakan penyerbuan ke kota Yogya untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada.
Pada tanggal 1 Maret 1949 TNI menyerang secara besar-besaran kota Yogya antara jam 6 pagi sampai siang dipimpin oleh Kol. Soeharto sehingga  tentara Belanda tidak berani keluar dari markasnya. Selama setengah hari Yogya dikuasai oleh TNI, kemudian TNI mundur lagi.                     Berita tentang dikuasainya Yogya oleh RI walaupun hanya sebentar, yang disiarkan melalui RRI Darurat di Sumatera dan dipancarkan keseluruh dunia dari  India, menggegerkan sidang Dewan Keamanan PBB yang kemudian memerintahkan Belanda meninggalkan Indonesia.
Pada bulan Juli 1949, sesudah menduduki Yogya selama tujuh bulan, tentara Belanda mundur dan TNI masuk Yogya.  Penyerangan 1 Maret 1949 oleh TNI di seluruh kota Yogya dan sekitarnya membuktikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Republik Indonesia masih ada. 
Kami para pengungsi yaitu keluarga Pak Salam dan keluarga  Pak Angudi  dan penduduk desa mendengar berita mundurnya tentara Belanda dari pasar darurat mingguan di desa. Pasar adalah sumber informasi, desas-desus dan perang urat syaraf antara mata-mata Belanda dan TNI.
Setengah tidak percaya bahwa Belanda akan mundur secepat itu karena senjata yang dimiliki Belanda sangat tidak seimbang dengan apa yang dimiliki TNI, kami dan para pengungsi lainnya pun memutuskan untuk kembali ke Yogya.
Kami berterimakasih dan berpamitan kepada Pak dan Bu Sumoloso di Bligo Kolodanan dan kemudian kembali ke Yogya.

(Episode sebelumnya: "Ditangkap Tentara Belanda, 1948" pada https://sardjono007.blogspot.com)

Epilog:
            Dalam peperangan ini puluhan ribu bangsa Indonesia laki-laki dan pemuda telah meninggal dan cacad, isteri-isteri menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim piatu.
            Pemimpin dunia yang menyerang secara militer negara lain, bertanggung jawab terhadap penderitaan, kematian dan akibat buruk dari peperangan yang dilakukannya. Mereka harus dapat dituntut di muka pengadilan. Tetapi kalau di dunia tidak dituntut, pastilah di akhirat.

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)?
 Qur'an 75:36


...dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Qur'an 2:60


Sesudah perang
     Kakek Wirjo, Suwarti dan Supiah selamat mencapai Tegal kira-kira akhir Februari 1949 setelah ikut rombongan Pasukan Siliwangi ber-Long March ke barat dari Desa Bligo (Kedu).
Suwarti menjadi  staf administrasi pada Kodam VII Diponegoro.
Supiah menjadi seorang guru SD

            Di Bangirejo Taman  No. 17, kira-kira pada 1950, Abdulsalam menggambar cerita bergambar Kisah Pendudukan Yogya sambil mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Mungkin cerita bergambar ini merupakan cerita bergambar sejarah pertama yang diterbitkan sesudah kemerdekaan. Kemudian Abdulsalam ditugaskan ke Negeri Belanda untuk menggambar satu ringgit uang De Javaasche Bank.
            Wibowo, anaknya, kemudian menjadi Kol. Korps Marinir TNI AL.
            Nani, adik Wibowo menjadi isteri Dosen Geografi di Universitas Gadjah Mada (UGM).

            Abdullah Angudi lulus insinyur sipil dari UGM pada 1958. Pada 1960  melengkapi gagasan Prof. W. J. van Bloemmestein dan Ir. Van Scravendijk untuk memperkuat kemungkinan pembangunan Waduk  Jatiluhur (Waduk Ir. H. Djuanda) yang membendung Citarum dan mengusulkan kepada pemerintah agar Bendungan Jatiluhur dapat dilaksanakan disertai multifungsi pengelolannya. Kemudian menjadi Direktur Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.   
            Saya menyelesaikan S1 Pertanian di Universitas Padjadjaran dan bekerja di ICI, Dow dan pensiun dari DuPont.
            Isti menjadi isteri Kol. TNI AU.
            Diyanto menjadi pegawai BUMN.

            Umar Khasan menjadi Bupati Grobogan
            Marjanto lulus sebagai Sarjana Muda Hukum dari                 Universitas Diponegoro.
            Margiono lulus sebagai Sarjana Muda Teknik dari                 Universitas Diponegoro.

            Soerono melukis penangkapan di Cebongan. Lukisan dipamerkan di Gedung Seni Sono Yogya pada 1951. Lukisan itu adalah salah satu lukisan koleksi Presiden Soekarno yang tercantum dalam buku Koleksi Lukisan Presiden Soekarno yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok. Kemudian Soerono pindah ke Bali dan melukis di Bali.

        Kasiyem pulang ke Cilacap.
        Yatin kembali ke Temanggung.
        Mbok Harjo bertemu lagi dengan keluarganya di Yogya.

            Pak Tino Sidin yang saya jumpai di Yogya waktu saya anak-anak pada 1948, pada tahun 1980-an mengajar menggambar untuk anak-anak di TVRI.

Lebaran di Purwokerto satu tahun sesudah Perang Kemerdekaan II, 1950.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
            Yang ditangkap Tentara Belanda: Bp Abdullah Angudi (berdiri paling kanan), Bp Abdulsalam (berdiri ke-2 dari kanan). Isteri-isteri yang mengungsi: Bu Salam (berdiri ke-3 dari kanan), Bu Abdullah Angudi (berdiri ke-5 dari kanan).Yang melihat pesawat capung memberi tanda untuk meriam: Kasijem (duduk paling kiri,  memangku Sudijanto).Anak-anak yang  melihat penangkapan di Cebongan:Wibowo (duduk depan ke-4 dari kiri) dan Sardjono (duduk depan ke-6 dari kiri). Pelukis Soerono melukiskan penangkapan itu berdasar keterangan Wibowo dan Sardjono. Ikut mengungsi: Istimiarti dan Nani (duduk depan ke-3 dan ke-2 dari kanan).
Toyo dan Djuki berdiri ke-1 dan ke-2 dari kiri adalah Tentara Pelajar. Tidak diceritakan dalam riwayat ini.

 Lebaran di Tegal dua tahun sesudah mengungsi, 1951.
 Kakek Wirjo (berdiri paling kiri), Bu Suwarti dan  Bu Supiah (dewasa, berdiri no 3 dan no 4 dari kiri), berjalan kaki dari Tegal ke Temanggung, lalu dari Yogya kembali ke Tegal bersama Divisi Siliwangi. Seluruh perjalanan 600 km melewati daerah berbahaya. Berdiri dewasa no 5, 6, 7 dan 8. adalah Bp. Abdullah Angudi, Bu Sudiyati (isteri A.Angudi), Bu Khotijah (isteri Umar Khasan) dan Bp Umar Khasan.


Mengunjungi anak cucu Bp Mangunredjo di Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Magelang pada 1986 dimana pada 1948 Pak Mangunredjo telah menerima 3 keluarga, yaitu kel. Wirjodiprodjo (3 orang), kel. Abdulsalam (5 orang) dan kel. Abdullah Angudi (7 orang) sebagai pengungsi. Jumlah termasuk pembantu-pembantu rumah tangga sebanyak 3 orang.















Mengunjungi Ibu Sumoloso di Desa Bligo Kolodanan pada 1986. Pada 1948 keluarga Sumoloso menerima kel. Abdullah Angudi sebagai pengungsi. Salah satu dapurnya dipinjam Pak Angudi sebagai kandang 30 itik.Pak/ Bu Sumoloso juga menerima seorang anggota Siliwangi yang ber-Long March yang sakit selama satu minggu dirumahnya.





Sardjono Angudi
angudiwatugiri@gmail.com
03/05/2014 diperbaiki 20/02/2023.




---